Rabu, 11 Juni 2008

sepenggal kisah pada hari ibu tahun lalu

Ini adalah kisah di penghujung tahun 2007, tepatnya pada suatu tanggal yang diperingati oleh segenap bangsa Indonesia sebagai Hari Ibu. Tetapi, ini bukanlah kisah tentang perayaan Hari Ibu.
Terkisahlah, saya dan beberapa teman mendapat undangan pesta pernikahan dari seorang teman di Solo tepat pada Hari Ibu yang lalu. Mengingat kami (baca: saya dan beberapa teman) hanyalah anak2 kos, sudah barang tentu tanggal dengan angka kepala 2 adalah tanggal-tanggal kritis secara finansial. Setelah melakukan perenungan mengenai urgensi dari sebuah undangan, pernikahan, serta pertemanan, kami (khususnya saya sendiri, mengingat ini adalah kisah saya dan ditulis dari persepektif seorang saya) memutuskan berangkat ke Solo untuk memenuhi undangan dan berbaur dalam kemeriahan pesta serta kebahagiaan kedua mempelai, dan tentu saja membawa doa dan harapan bagi kedua pengantin.
Berbekal niat tulus, (honestly speaking) uang pas2an untuk membayar sewa mobil serta tentu saja peta yang tertera di undangan (peta itu seolah menjadi golden ticket untuk dapat menuju ke venue), dan tak ketinggalan kado spesial yang telah disiapkan, saya bersama teman2 pun beranjak ke Solo (honestly speaking), kota yang selama hampir 7 tahun ingin sekali saya kunjungi. Dengan petunjuk yang tertulis di peta sekadarnya, mobil pun membawa saya dan beberapa teman memasuki kota Solo dan tanpa terasa hampir membawa saya dan beberapa teman ke kota lain setelah Solo. We’d been lost in Solo city… Damn…!!!
Seperti judul buku Ibu Kartini “Habis Gelap, Terbitlah Terang”, setelah bertanya sana-sini, saya bersama beberapa teman pun mendapatkan pencerahan dan Haleluya… kami pun sampai di gedung tempat pestanya digelar (lebih tepatnya lagi telah selesai digelar), karena ketika kami memarkir mobil sudah tidak tampak mobil-mobil undangan lain, dan saat memasuki gedung pemandangan yang tampak adalah para pria yang sedang melipat kursi-kursi, melepaskan hiasan-hiasan bunga, dan tentu saja di pelaminan tampak kedua mempelai sedang melakukan photo session, di kursi-kursi sebelah kanan pelaminan tampak keluarga mempelai sedang duduk dan bercengkerama.
Saya pun bergegas ke pelaminan dan menyalami mempelai, tentu saja diikuti teman-teman di belakang. Setelah itu saya dan beberapa teman pun berfoto bersama dengan kedua mempelai. Setelah itu kami (tentu saja lagi2 saya dan beberapa teman) memutuskan untuk meninggalkan venue karena tak kuasa lagi menahan arus demonstrasi para cacing yang ada di dalam perut (baca: kelaparan). Daaaan… sebuah rumah makan padang di sebuah jalan di kota Solo pun menjadi perhentian kami untuk santap pagi dan siang (maklum tak satupun dari kami yang sempat sarapan…).
Ada yang mengecewakan (tentu saja bukan hanya sekedar makanan… karena untuk makan yang adalah kebutuhan alamiah setiap manusia… saya cukup bertanggung jawab terhadap diri saya sehingga tak akan membiarkan diri saya kelaparan sekalipun dengan uang pas2an) saya (kenapa saya, karena sekali lagi ini adalah tulisan saya, kalau ternyata di antara beberapa teman saya pada waktu itu yang juga turut merasakan kekecewaan yang akan saya utarakan setelah ini… seperti dalam film itu hanya sebuah kebetulan belaka), bahwa tidak terkesan sebuah perhatian (simpati dan empati) dari mempelai menanggapi kedatangan saya dan beberapa teman. semoga, cukup saya dan beberapa teman saja yang pernah mengalami peristiwa apes bin sial itu.....!!!!! (hahahahahhahaha)

Tidak ada komentar: